Search This Blog

Sunday, January 30, 2011

Indonasia Masih Punya Harapan

Entah mengapa saya diundang untuk berbicara di depan lingkungan yang tidak terbiasa saya datangi. Katakana, lingkungan itu adalah lingkungan umat beragama, dan saya merasa terhormat untuk berbicara di situ. Tetapi yang lebih menarik adalah tema pembicaraan yang mereka usulkan dan berjudul ; Masih Adakah Harapan Bagi Indonesia?
Memang, bilamana kita berbicara tentang kondisi ekonomi, sulit sekali kita untuk bernafas lega. Saya tidak perlu mengulang – ulang data statistik yang membosankan tentang utang luar negeri, amburadulnya kondisi perbankan, inflasi yang meningkat dan menumpuknya masalah utang – utang obligor dan pemegang saham perbankan yang harus dibereskan sesegera mungkin. Saya juga sadar bahwa angka – angka statistik lain menunjukkan berkurangnya angka pengangguran secara terbuka, serta masih adanya pertumbuhan ekonomi di negeri ini. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak bisa menimbulkan secercah optimism bila kita hadapkan pada belum berfungsinya sector perbankan dan tidak ditemuinya terobosan baru, apalagi BBM dan tarif listrik yang mulai naik pada awal tahun ini tentunya mempunyai efek inflatoir. Begitu juga dibidang politik, kembali berita – berita buruk muncul. Harapan akan berlangsungnya pelaksanaan demokrasi yang transparan mengalami set back dengan terungkapnya para politisi negeri ini dalam korupsi. Kita juga meliat bahwa keinginan untuk bergerak secara fisik, apakah itu demonstrasi ataupun itu merupakan kegiatan yang destruktif, semakin mencuat dan tidak bisa tidak, ini mengekspresikan tingkat kemarahan yang luar biasa dari sebagian warga kita. Karena itu, apa alasan yang paling bisa diandalkan untuk mengatakan bahwa Indonesia masih punya harapan?
Dalam diskusi tersebut, pembicara – pembicara mengungkapkan soal keterpurukan Indonesia. Barangkali keterpurukan itulah yang sebetulnya bisa menjadi secercah harapan bagi kita. Kenapa? Karena keterpurukan ekonomi seperti fakta bahwa krisis ekonomi sudah menjelang tahun ke tiga belas, barangkali bukan hal yang pantas membawa rasa optimism. Lebih dalam dari itu, keterpurukan yang kita alami adalah justru keterpurukan jiwa dan sanubari. Kita terlalu terbiasa untuk melihat keterpurukan semata – mata dari sisi kondisi ekonomi yang krisis, maupun situasi politik yang penuh dengan gonjang – ganjing.
Tetapi barangkali keterpurukan dalam jiwa jauh lebih dahsyat dan jauh lebih substantif efeknya, daripada keterpurukan dibidang ekonomi dan politik. Karena, keterpurukan jiwa itu menimbulkan berbagai reaksi, sikap perilaku, yang amat sulit dimengerti. Tetapi keterpurukan jiwa itu bukanlah sesuatu yang bersifat tetap, apalagi abadi. Manusia – manusia Indonesia aka nada terus, meskipun ada yang mati dan ada yang baru lahir. Kita mengenal dalam sejarah bahwa banyak sekali sejarah peradaban dan kekerasan kolektif, yang terjadi dimana – mana di dunia ini, sesungguhnya berasal dari keterpurukan jiwa. Karakteristik dari keterpurukan jiwa itu wujud dalam bentuk perasaan yang kuat bahwa “hanya saya yang benar” dan perasaan yang tidak kalah kuatnya bahwa “semua diluar saya adalah salah”. Ini bisa tampak dari sikap kita menyiasati masa lampau yang belum terlalu lampau seperti masa Orde Baru. Masa itu sebetulnya belum pernah kita lewati secara budaya hingga sekarang. Tetapi bila kita melihat kutukan pada Orde Baru, kita akan ternganga melihat individu dan kelompok – kelompok yang mengutuk itu, karena banyak diantaranya, dengan perkecualian para mahasiswa dan pemuda bangsa, adalah orang – orang yang justru melekat pada dirinya identitas sebagai orang – orang “biangnya” Orde Baru.
Kembali, kenapa saya berani mengatakan tentang masih adanya harapan bagi Indonesia, maka itu justru karena kita mengalami keterpurukan jiwa. Kita akan kembali keluar dari keterpurukan jiwa itu, dan proses dimana kita keluar dari keterpurukan berlangsung sejak sekarang dan memang mengandung harga yang sangat mahal untuk kita bayar. Apakah yang dinamakan “black market of justice” ataupun “black market of power politics”, jelas aka nada proses dialektika yang berkembang lebih lanjut. Saya percaya bahwa penangkapan – penangkapan kepada orang – orang atas tuduhan korupsi, akan berakhir dengan tertangkapnya pihak – pihak yang menangkap dan yang ditangkap itu dalam dataran perubahan yang semakin menuju kristalisasinya.
Ini akan menyebabkan berlangsungnya pola baru dalam penyelesaian masalah korupsi, dimana publik akan melihat berlangsungnya proses politik yang lebih sehat, sementara pemberantasan korupsi yang berlangsung tetap berjalan, namun dengan kriteria – kriteria yang lebih masuk dalam akal kita. Kriteria – kriteria tersebut tentunya juga merupakan hasil dari kesepakatan politik kita yang mau tidak mau akan muncul, mengingat alternatifnya adalah kehancuran ruang publik dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, hal yang oleh orang yang paling optimis sekalipun tentunya tidak dikehendaki.
Bagaimana kita malihat apa yang terjadi di Indonesia ini dalam konteks perjalanan kita sebagai bangsa?
Pertama – tama kekeliruan yang paling besar dari pengamatan sejarah politik Indonesia adalah dalam membandingkan masa Soekarno dengan masa Soeharto. Sebetulnya apa yang disebut kebudayaan politik dan kultur usaha yang betul – betul mendalam merasuk kedalam kehidupan kita hanyalah pada masa presiden Soeharto berkuasa. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan munculnya Presiden Soeharto dalam peta politik, kita menjalani proses yang bernama demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin yang berlangsung amat singkatnya. Bahkan kekuasaan dari Presiden Soekarno sesungguhnya hanya berlangsung tidak lebih dari delapan tahun, itupun hanya bisa dilakukan dengan membuat politik seimbang antara tentara dengan komunis serta ide Nasakom-nya. Tetapi kultur usaha dan kultur politik yang betul – betul meresap di dalam diri kita adalah di masa panjang dari tiga dekade pemerintahan Soeharto. Inilah yang kita tidak sadari karena kemudian kita ingin menyatakan bahwa sekarang situasinya berubah.
Bagaimana situasi bisa berubah, bilamana kita tidak mengambil garis yang tegas dalam memutuskan diri kita dari masa Orde Baru itu? karenanya muncullah suatu Indonesia yang sarat dengan mentalitas dan kepribadian ganda. Di satu pihak kita membenci KKN, tetapi kita dengan dendang riang gembira melaksanakan KKN secara cermat, cepat, dan efektif. Di satu pihak kita anti Orde Baru, tetapi praktik – praktik politik Orde Baru sungguh sulit dibedakan dengan praktek kekuasaan yang diterapkan leh partai – partai politik. Ini bisa mudah kita lihat dengan keengganan yang merata dari pimpinan partai – partai politik untuk melepaskan jabatannya di partai, meskipun mereka memegang jabatan – jabatan publik mulai presiden, wakil presiden, menteri – menteri, ketua MPR dan ketua DPR. Bukankah itu tidak berbeda dengan politik Orde Baru yang memang selalu mendobelkan jabatan partai dan jabatan kekuasaan.
Itu semua adalah roses keterpurukan jiwa yang kini mulai menunjukkan tanda – tanda akan mengalami titik balik. Titik balik akan terjadi bilamana semua kalangan kemudian sepakat untuk bersikap bahwa mereka tidak lagi bisa melaksanakan kegiatan politik dan usaha sebagai “business as usual”. Tiba – tiba para pengusaha dan para pejabat menyadari bahwa semua mereka itu, nyaris tanpa kecuali, mempunyai potensi untuk menjadi tersangka dalam kasus korupsi. Bilamana UU pembuktian terbalik benar – benar diterapkan, maka penjara – penjara yang ada diseluruh Indonesia, bukan saja tidak cukup untuk menampung warga Negara Indonesia itu, bahkan 100 kali lipat pun jumlah penjara diperbanyak, tetap kita tidak bisa memenuhi tempat bagi para koruptor yang memang diri kita sendiri, baik para petugas pajak maupun pembayar pajak, baik penegak hukum maupun orang yang akan dihukum.
Kita melihat dinamika inilah yang sama sekali tidak bisa di cover oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang, setengah naïf, setegah pintar, menyebut tekadnya untuk menegakkan supremasi hukum. Bilamana kita sampai pada situasi demikian, maka tibalah kita pada kesadaran yang amat mendasar akan perlunya perombakan kehidupan bernegara yang sepenuhnya bersifat substantif. Di sinilah kita masuk ke bagian kedua, yaitu bagaimana menyikapi sejarah politik Orde Baru bagi keperluan kita dimasa kini.
Hal kedua adalah upaya sungguh – sungguh untuk melaksanakan perubahan yang bersumber dari jiwa terpuruk itu, yang hanya bisa diawali oleh kesadaran bahwa kita memang mengalami jiwa yang terpuruk, dan karena itu kita harus membangkitkan kembali jiwa kita. Kebangkitan jiwa inilah yang kemudian akan menjadi titik balik sebagai bangsa, karena akan muncul gerak langkah politik dan proses politik yang sama sekali lain dari yang ada hingga sekarang, dimana beberapa faktor memainkan peranannya.
Faktor – faktor tersebut mencangkup pengangkatan isu – isu di daerah sebagai isu yang amat penting, bahkan tidak kalah penting dari isu – isu nasional. Faktor lain adalah memberikan isi yang paling “pas” dalam menegakkan hukum, sehingga diperoleh suatu format yang memungkinkan kita memenuhi hasrat bagi keadilan di satu pihak, seraya pada saat yang sama tetap bisa menggerakkan langkah menuju rekonstruksi dan pemulihan ekonomi. Saya kira saat – saatnya cukup dekat di mana titik balik itu sudah akan tiba, dan terpulang kepada kita untuk mengambil peran yang bagaimana dalam proses kita menuju Indonesia Baru.



Presiden Pembohong dan Cengeng

Entah itu memang cengeng atau platitude! Entah itu mengada – ada atau bego! Yang pasti, siapa yang berani menyatakan membantah keluhan Presiden tentang Kenaikan Gajinya yang tidak kunjung dinaikkan.
Kalau kita mau jujur, jawaban yang ada sangat boleh jadi hanya tidak tahu dank arena bingung, atau bingung karena tidak tahu. Kalau kita men-scan semua berita – berita yang muncul di media cetak dan elektronik, dan mencoba menggunakan pendekatan metologis atau teoristis, maka apa yang kita peroleh dari berita – berita politik, ekonomi, sosial dan kriminalitas yang bermunculan setiap saat bersama kita?
Rasanya banyak sekali kini orang pintar yang terpaksa harus mengakui bahwa kepintarannya sama sekali tidak bisa membantu dirinya untuk memahami apa yang terjadi. Ini bukan saja membuat yang bersangkutan mempertanyakan kepintaran mereka sendiri, tetapi juga membuat kita semua yang bisa mereferensi nama si orang pintar itu semakin bingung. Bilamana mereka bingung, bilamana politisi berceloteh tiada henti, bilamana rakyat menjadi acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekeliling mereka, maka inilah kondisi yang jauh lebih mencemaskan dibandingkan faktor – faktor lain yang sebelumnya dianggap penting.
Jelas ahli ilmu politik menganggap penting bayang – bayang disintegrasi serta kapasitas kepemimpinan yang ada di lembaga – lembaga eksekutif dan lembaga legislatif, serta kondisi sehatnya lembaga yudikatif. Jelas para ahli antropologi amat mempersoalkan terjadinya penajaman konflik primordial dan agama di segala penjuru dari Aceh hingga Maluku dan Irian Jaya.
Jelas para ahli ilmu sosial lainnya serta ahli ilmu pendidikan mempertanyakan apa kegunaan ilmunya dalam mencoba menjawab tantangan multidimensi yang dihadapi “center” yang setiap saat tampak bisa lenyap. Barangkali kemana kita pergi sangat boleh jadi membawa kita pada suatu keadaan baru, dimana cara – cara bertanya dan cara – cara mempersoalkan masalah tampaknya perlu ditinggalkan. Apakah jalan keluar berupa bentuk Negara federal atau penyelesaian masalah utang dan perbankan merupakan hal – hal yang masuk dalam dataran teknis belaka?
Di belakang dan dibalik maslaah teknis tersebut, terbentang persoalan mendasar yang mencangkup cara – cara kita melaksanakan kehidupan bernegara yang hingga kini tampak belum bisa kita tinggalkan dan bahkan masih kita lanjutkan. Cara – cara tersebut bisa berupa koncoisme atau pelibatan keluarga dalam masalah Negara yang dinilai oleh kita sebagai “lebih aman” ketimbang cara – cara lain yang lazim diketahui di dalam masyarakat Negara. Sebagai contoh, bila kita bicara tentang bank dan kesehatan bank, menarik melihat suatu rengking yang dibuat lembaga terkemuka World Ekonomic Forum yang berkedudukan di Davos, Swiss.
Dalam rangking terhadap 59 negara yang diteliti, kesehatan Bank Indonesia mendapat rengking ke-59. Begitu juga dalam rengking tengkat pengawasan (supervisory level) dari 59 negara, yang sistem perbankannya diselidiki, Indonesia kembali mendapat rengking nomor 59. Yang menarik bahwa hubungan yang amat jelas antara kedua rangking yang mengahsilkan nomor buncit bagi bangsa ini, tidak pernah ada fokus keterlibatan para pejabat didalamnya. Hampir semua “calon terdakwa” berasal dari sektor swasta yang sebetulnya pasti salah bil memang melanggar ketentuan, namun jelas seharusnya lebih salah lagi yang membiarkan pelanggaran, dan di sini secara eksplisit tidak bisa dilepaskan dari nama – nama pejabat Bank Indonesia dan Departemen Keuangan.
Kemana kita pergi? Kalaulah saya bisa menjawab tentunya pertanyaan ini akan saya lontarkan. Begitu banyak yang tidak kita ketahui dan begitu banyak irasionalitas berlangsung sebagai akibat tidak pernahnya kita menggunakan hati dalam kegiatan politik dan bermasyarakat. Betapa tidak, bila rakyat Yogyakarta dan Surakarta meneriakan referendum, yang terbayang hanyalah pecahnya Indonesia yang akan bersifat fatal sesuai dengan teori domino, tetapi tidak ada yang coba mengartikan referendum sebagai suatu seruan dari kelompok masyarakat yang amat sangat disakiti dank arena itu mampu pula balik menyakiti kalangan di luar kelompok tersebut.
Di sini kita perlu bertanya sungguh – sungguh didalam sanubari kita, apakah kita betul – betul masih menginginkan adanya Indonesia sebagai Negara? Dan bila memang ya, apakah kita mau mengorbankan apa saja yang ada melalui kelangsungan kehidupan Negara itu? Barangkali bila pada jawaban yang pertama dengan refleks kita akan menjawab ya, maka dalam pertanyaan kedua kita akan hening, bingung dan tidak bisa menjawab. Kemana Presiden kita akan pergi, bila pemimpin sudah mempertanyakan soal gaji? Apakah Presiden memang memberikan pendidikan kebohongan dan kecengengan kepada rakyatnya? Lalu apakah Presiden tidak memikirkan dengan tulus bagaimana nasib ratusan juta rakyat Indonesia yang hidup di lingkungan kumuh yang belum tentu bisa makan, bahkan mungkin setiap hari ada saja yang meninggal karena kelaparan? Tidakkah Presiden sebagai pemimpin negeri ini tidak memikirkan, bagaimana nasib pemuda peneru bangsa? Apakah dalam diri tidak ditanamkan sebuah kalimat “jangan bertanya apa yang negaramu berikan kepada dirimu, namun bertanyalah apa yang kamu berikan kepada negaramu”.

2 comments: